Minggu, 05 Januari 2014

Opini Pengangguran dan Pelanggaran HAM

Posted by Unknown on 20.36 | No comments
Kasus pelanggaran hak azasi manusia (HAM) di Indonesia, masih banyak yang belum terselesaikan. Tak jarang setiap harinya bertambah dengan kasus-kasus baru yang lebih parah. Kehadiran lembaga-lembaga serta aliansi-aliansi penegakkan HAM seharusnya menjadi sebuah harapan penegakkan HAM di Indonesia agar lebih baik.
Tapi tak jarang pula, para pejuang penegakan HAM menjadi korban pelanggaran HAM. Sebut saja Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia dan menjadi efek pelanggaran HAM terhadap penegakkan HAM.
Dengan banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi, lembaga-lembaga dan aliansi-aliansi penegakan HAM cenderung mengalami kendala dalam memberikan fokus terhadap kasus-kasus yang terjadi. Mereka cenderung terpaku pada permasalahan permasalahan terkait dengan pelanggaran-pelanggaran HAM personal ataupun legal equality seperti tindak kekerasan, pengambilan lahan dan sumber daya alam, serta kasus tindakan kriminalitas lainnya.
Memang ini senada dengan apa yang yang dibahasakan kepada salah satu koran nasional pada tanggal 07 Desember 2012 oleh Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah menjelang Sidang HAM ke-II tiga lembaga HAM nasional, yaitu Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dia menegaskan yang akan menjadi fokus dalam Sidang HAM ke-II ini seputar isu pelanggaran HAM dalam pengelolaan konflik SDA dan agraria, intoleransi, pelanggaran HAM masa lalu, dan kekerasan terhadap anak di sekolah.
Akan tetapi yang perlu kita ingat dan kaji kembali, masalah penegakkan HAM tidak hanya menyangkut hak asasi pribadi (personal right), hak asasi politik (political right), hak azasi hukum (legal equality right), hak asasi peradilan (procedural right), dan hak asasi sosial budaya (social culture right). Tapi juga menyangkut hak azasi ekonomi (property right), yang fokusnya adalah tingkat pengangguran yang terjadi di tengah masyarakat.
Sebagaian besar kasus pengangguran disebabkan oleh tidak tersedianya lahan pekerjaan yang cukup. Keterbatasan lahan pekerjaan tersebut menyebabkan kompetisi dalam memperoleh pekerjaan menjadi sangat tinggi.
Terkadang kompetisi tersebut berjalan secara sehat, tapi tidak jarang pula kompetisi tersebut terjadi secara tidak sehat. Dengan terjadinya kompetisi dalam mendapatkan pekerjaan tersebut, ternyata menjadi penyebab terjadinya pembatasan hak asasi ekonomi seseorang terhadap suatu pekerjaan oleh hak asasi ekonomi orang lain yang telah mendapatkan pekerjaan tersebut terlebih dahulu. Jika ia masuk ke lapangan pekerjaan lain, tentu akan tetap menghadapi kompetisi yang sudah terisi dengan kompetitor lain, sementara tuntutan ekonomi harus tetap dipenuhi.
Dengan tingginya tuntutan ekonomi, tentu desakan untuk memperoleh pendapatan juga semakin tinggi. Selain dengan cara meningkatkan daya saing sebagai kompetitor dalam memperoleh pekerjaan, tidak jarang cara yang digunakan adalah cara-cara yang tidak sehat dan melanggar hak asasi ekonomi orang lain, seperti tindakan eksploitasi, nepotisme ataupun suap.
Jika ditarik ke akarnya lagi, salah satu penyebab terjadinya pengangguran dan lemahnya tingkat kompetisi di kalangan penduduk usia kerja adalah faktor pendidikan.
Secara lazim tentu akan terjadi differensiasi pekerjaan antara penduduk usia kerja yang memiliki tingkat pendidikan rendah dengan tingkat pendidikan tinggi. Tentu, ini akan menyebabkan tingkat persaingan akan melampaui persinggungan-persinggungan hak asasi ekonomi.
Pada beberapa literatur, kita bisa menemukan bahwa pelanggaran hak asasi ekonomi bisa menjadi penyebab dan akar permasalah dari munculnya kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Sebagai contoh, dengan informasi yang masing-masing kita miliki, kita bisa mengambil kesimpulan dari penyebab terjadinya kasus pelanggaran HAM berat di daerah Dharmasraya dengan aksi sweeping yang dilakukan para aparat polisi setempat pada tanggal 25-27 November 2012 lalu adalah efek dari tidak terpenuhinya hak asasi ekonomi masyarakat.
Asumsi yang bisa kita munculkan adalah, masyarakat dari golongan penambang emas merupakan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah sehingga hak asasi ekonomi mereka terbatasi oleh status pendidikan untuk memperoleh pekerjaan. Berdasarkan pada data BPS Dharmasraya, memang menunjukan bahwa angka pendapatan perkapita penduduk di Dharmasraya merupakan salah satu yang cukup tinggi untuk daerah Sumatra Barat yaitu Rp12,591,541.90 pertahunnya dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa. Namun seperti yang kita ketahui bersama, jurang yang terjadi dalam pendapatan perkapita masyarakat di Indonesia sangatlah jauh antara masyarakat miskin dengan masyarakat kaya, sehingga kita tidak bisa secara mutlak berpatokan pada pendapatan perkapita masyarakat dalam menganalisa pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Jadi, kalau kita mencoba melakukan sebuah pemetaan terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Dharmasraya, kita akan menemukan akar dari kasus penangkapan inkonstitusional yang tidak sesuai dengan KUHAP tentang Penangkapan pasal 18 ayat 1 yang dilakukan oleh jajaran aparat polisi setempat adalah kebutuhan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan tidak memiliki perkerjaan tetap terhadap peluang akan lahan pekerjaan yang produktif, yang bisa meningkatkan pendapatan demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun apakah terjadi perebutan lahan antara masyarakat yang tiba-tiba menceburkan diri menjadi penambang dengan aparat polisi yang juga berfikir sama dengan penambang, bahwa lahan tambang sangat menjanjikan untuk memberikan pendapatan lebih? Tentu ini adalah question ending, yang tidak perlu berujung dengan sebuah statement.
Roni Azmal Fahdi
(Alumni komisariat Ekonomi Unand)

0 komentar:

Posting Komentar