Posted by Unknown on 02.30 | No comments
Sejarah telah mengajarkan kepada kita betapa Republik ini dibangun dengan tumpuan optimisme yang menggelora.Kita bisa mengingat, di tengah karut-marut negeri kita di awal kemerdekaan, para pemimpin tetap mampu memberi optimisme kepada rakyat.
Padahal jika kita melihat kondisi hari itu, semua hal serba tertinggal. Hanya lima persen penduduk Indonesia yang melek huruf. Hanya ada 92 sekolah menengah atas (SMA) dan lima universitas.
Gejolak sosial dan kekacauan berdarah terjadi di mana-mana. Bayangkan bila Anda berjalan malam hari dari Jakarta ke Bandung pada masa itu. Pasti Anda akan dirampok saudara sebangsa. Apa yang bisa dibanggakan dari kondisi seperti itu?
Tapi lihatlah Soekarno, Muhammad Hatta, dan para pendiri Republik yang lain. Mereka tetap menggelorakan optimisme kepada rakyat. Mereka memberi semangat tentang Indonesia yang kaya raya, karena saat itu sumber daya manusia sama sekali belum bisa dibanggakan.
Para pendiri Republik mampu menggandakan pesan optimisme dan semangat kepada rakyat. Mengapa? Karena para pendiri Republik menyampaikan semua pesan dengan otentik, tidak dibuat-buat, apa adanya.Maka sangatlah aneh bila hari ini, di tengah kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa ini, seringkali pesan-pesan positif tidak berhasil digandakan. Gagalnya penyampaian pesan-pesan kepada rakyat hari ini disebabkan sebagian besar pesan itu tertutup dengan pencitraan dan kurang otentik. Nyaris tak ada lagi pesan-pesan yang otentik, karena para pemimpin cenderung menghindari kontroversi.
Kita butuh pemimpin otentik. Pemimpin yang tidak takut dengan kontroversi. Pemimpin yang tak hanya peduli dengan kata wartawan, karena tindakan hari ini akan dinilai oleh sejarawan.
Pemimpin harusnya takut pada sejarawan, bukan pada wartawan.Dalam konteks ini kita perlu memberi apresiasi kepada Mahfud MD, ketua Mahkamah Konstitusi. Beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi selama ini telah memicu kontroversi. Tapi Mahfud MD dan Mahkamah Konstitusi terus jalan. Begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin. Pemimpin itu harus memberi contoh. Pemimpin harus memberi harapan, bukan ratapan.
Harapan juga dibutuhkan dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, penyakit yang kian menggerogoti negeri ini. Ini bukan penyakit baru. Korupsi sudah ada sejak zaman kolonial. Ketika Herman Willem Deandels datang di Indonesia 1 Januari 1808, di sini sudah ada korupsi.
Di zaman awal kemerdekaan juga sudah ada korupsi. Tapi para politisi masih memiliki kepedulian yang kuat untuk memikirkan nasib rakyat. Walau mereka bertarung secara ideologi, tapi secara personal dan tingkah laku, banyak yang bisa dicontoh. Bagi mereka, kepentingan Republik adalah di atas segalanya.
Maka sudah sepantasnya nasib rakyat kembali dijadikan orientasi. Hari ini paradigma baru yang harus dibangun adalah sumber daya manusia sebagai aset kekayaan Republik.
Jangan terpaku lagi pada kekayaan alam sebagai orientasi. Jika hari ini kita masih lebih hafal jumlah barel produksi minyak daripada jumlah guru, maka itu sama saja dengan pola pikir kolonial.Kolonial hanya berpikir kekayaan alam dan bagaimana mengisap kakayaan alam negeri ini untuk kepentingan bangsa mereka.
Pola pikir seperti itu hanya mengutamakan tujuan untuk keuntungan sepihak dalam segala hal, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. Contoh, rel kereta api zaman dulu dibangun hanya untuk menghubungkan perkebunan, bukan menghubungkan daerah padat penduduk. Karena kolonial berpikir untuk mengisap kekayaan alam bangsa Indonesia sebesar-besarnya.
Hari ini kita telah menikmati berbagai hasil dari proses transformasi demokrasi. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi memang patut berbangga. Pemilihan umum sebagai salah satu bentuk demokrasi bahkan telah diselenggarakan dengan baik. Tapi sebenarnya pemilu itu ditentukan bukan oleh pemenang, tapi oleh pihak yang kalah. Jika pihak yang kalah memboikot hasil pemilu, maka tak akan ada legitimasi terhadap pemenang pemilu.
Oleh karenanya menjadi aneh, kalau hari ini kita serasa sulit menemukan negarawan. Mengapa? Karena visi bangsa kita tertutup dengan banyak contoh buruk. Benarkah sudah tak ada lagi negarawan di negeri ini? Tentu tidak! Masih banyak orang-orang baik dengan kontribusi positif. Masih banyak anak-anak muda yang terpanggil membangun negara. Banyak contoh orang-orang baik yang sifatnya seperti negarawan, tapi jarang diekspos.
Jadi apa yang bisa dilakukan? Tawarkan skema dalam bentuk pengabdian dan kehormatan, bukan punishment. Seringkali pengabdian ditawarkan dengan mekanisme punishment dan uang. Padahal jika pengabdian ditawarkan dalam skema kehormatan, masih banyak anak-anak muda yang tertarik.
oleh : Anies Baswedan
0 komentar:
Posting Komentar