Minggu, 05 Januari 2014

PENDIDIKAN KARAKTER BUKAN HAL BARU DI SUMBAR

Posted by Unknown on 20.34 | No comments
Menarik mengikuti perdebatan mengenai pendidikan karakter oleh beberapa tokoh, budayawan, dan pakar pendidikan.
Perdebatan dimulai dari artikel Darman Moenir yang dimuat di Haluan Senin 26 Desember 2011. Berbagai wacana pro dan kontra menge­nai pendidikan semakin gen­car bermunculan, banyak per­spektif yang digunakan dalam memandang penting atau tidaknya pendidikan karakter diterapkan untuk mengubah kecacatan moral yang terjadi di negeri ini. Penulis ber­pendapat ada beberapa hal yang perlu kita cermati dalam pendidikan karakter.
Penulis adalah orang yang sepakat dengan pepatah Mi­nang “Kaciak taraja-raja, gadang tabao-tabao, gaek tarubah tidak”. Sangat fi­losofis dan bermakna luas jika kalimat yang memperlihatkan bagaimana sebuah proses pembentukan karakter yang terjadi di Minangkabau kita pahami lebih dalam.
Pembentukan karakter seseorang melewati beberapa proses dan tahapan. Tahapan pertama, adalah penanaman sistem nilai yang memberikan acuan dalam melakukan pe­nilaian pembandingkan ter­hadap sesuatu. Kedua, pem­bentukan sikap, dimana pro­ses penilaian dan pembandingan yang telah dilakukan oleh seseorang akan membentuk sebuah respon berupa sikap terhadap stimulus yang be­rasal dari lingkungan. Ketiga, adalah proses pembentukan perilaku, dimana hasil dari respon sikap terhadap sti­mulus menciptakan sebuah perilaku seseorang. Keempat, tahapan pembentukan karak­ter, sebagai sebuah hasil paripurna dari tahapan-ta­hapan pembentukan karakter yang berasal dari perilaku yang dilakukan secara be­rulang-ulang dan terus me­nerus yang biasa kita sebut dengan kebiasaan. Faktor internal berupa sistem nilai dan faktor eksternal berupa lingkungan memberikan penga­ruh yang significant terhadap kebiasaan seseorang yang akan membentuk karakternya.
Tanpa mengurangi esensi ilmu dari mahzab-mahzab ilmu pendidikan yang sedang berkembang didunia hari ini, penulis berpendapat bahwa metode pembentukan karakter yang paling baik dan relevan dipakai didaerah Sumatera Barat adalah mengacu pada pepatah kaciak taraja-raja, gadang tabao-tabao, gaek tarubah tidak”
Kaciak taraja-raja (kecil terajari), bisa dipahami se­bagai sebuah proses dok­trinisasi terhadap seorang anak, dimana ia diberikan setumpuk nilai-nilai ke­bena­ran. Sehingga ia memiliki suatu acuan dan sudut pan­dang dalam membandingkan dan menilai sesuatu sebagai suatu yang benar atau salah, baik atau buruk, dan indah atau tidak indah. Dalam istilah filsafat, idientik kita mengenal kata-kata tersebut dengan istilah penilaian etika, logika, dan estetika. Pe­na­na­man sistem nilai tersebutlah yang menjadi bagian ter­penting dan pondasi awal (faktor internal) bagi se­se­orang manusia dalam pem­bentukan karakternya.
Tahapan ini tentu dimulai dari lingkungan terdekat dari anak tersebut, mulai dari keluarga, lingkungan masya­rakat (sosial), dan lingkungan pendidikan. Adalah ke­nis­cayaan untuk orang tua dalam mengajarkan yang benar bagi anak-anaknya, akan tetapi proses interaksi anak tersebut dengan lingkungan sosial dan pendidikan juga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam penanaman nilai-nilai tersebut. Satu hal yang men­jadi tuntutan bagi orang tua adalah bagaimana caranya orang tua dari anak tersebut melakukan proteksi terhadap sistem nilai yang salah agar tidak menjadi suatu acuan yang dianggap benar oleh si anak. Ada beberapa sistem nilai yang dapat diberikan kepada si anak sebagai pem­banding sistem nilai yang benar dan sistem nilai salah. Diantaranya adalah sistem nilai yang berasal dari nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya dan tentu saja nilai-nilai hukum yang berlaku. Karena itulah sistem “babaliak ka­surau” juga menjadi sangat relevant dalam menunjang pembentukan karakter. Ka­rena sistem pendidikan di­sekolah hari ini, terutama yang tidak berbasis agama, menurut penulis belum mem­berikan komposisi yang cukup dalam memberikan pe­na­naman nilai-nilai agama terhadap anak-anak.
Gadang tabao-bao (remaja ikut-ikutan), sebagai proses lanjutan dari pembentukan karakter, proses ini mem­berikan representasi bahwa pada tahap menuju remaja, diasumsikan seseorang sudah memiliki sebuah sistem nilai dalam dirinya. Sehingga da­lam proses interaksi social yang lebih dalam, ia sudah bisa menyusun sebuah ide dan gagasan dalam melakukan penilaian dan perbandingan berupa respon terhadap sti­mulus-stimulus dari ling­kungan. Dalam proses ini, si anak yang telah beranjak remaja akan melakukan proses penilaian ulang terhadap sistem nilai dalam dirinya (faktor internal) dengan rea­lita yang ada (faktor eks­ternal). Faktor eksternal ini, bisa berasal dari pengalaman pribadi atau orang lain dan ilmu pengetahuan yang ia peroleh dari bangku pen­didikan ataupun bacaan-bacaan yang beredar bebas dan luas saat ini. Pada proses ini orang tua, dituntut untuk memberikan control terhadap sistem nilai yang telah di­tanamkan.
Gaek raubah tidak (de­wasa tidak terubah), ta­hapan ini merupakan proses pari­purna dari pembentukan karakter seseorang. Dimana sistem nilai yang tertanam dan telah melewati proses perbandingan dan penilaian dengan realita, dimana proses perbandingan dan penilaian tersebut akan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor keingingan dan ke­butuhan. Jika kebutuhan dan keinginan lebih kuat di­ban­ding­kan dengan sistem nilai yang ada dalam diri se­se­orang, akan membuat sistem nilai tersebut hancur, sehingga secara sikap, perilaku, dan karakterpun akan berubah.
Jika karakter yang di­bangun seseorang tidak me­miliki sebuah konsis­tensi dan berubah-ubah, serta cenderung menye­suaikan dengan ke­ingi­nan dan kebutuhan maka penulis lebih sepakat menye­but seseorang ter­sebut tidak berkarakter. Dan wajar, jika istilah-istilah seperti “pe­mimpin tidak berkarakter”,  yang menimbulkan analogi “bangsa yang tidak ber­karakter” bermunculan dan disebut dimana-mana saat ini.
Jadi penulis ber­ke­sim­pulan bahwa sistem pen­didikan karakter, sebenarnya ditelah di­terapkan di Minang­kabau dari dahulu. Hanya saja kita sering terlupa untuk memahami pesan-pesan yang disampaikan oleh orang orang tua melalui pepatah-pepatah seperti “ka­ciak taraja-raja, gadang tabao-bao, gaek ta­rubah tidak”, dan bahkan sudah ada solusi terhadap permasalahan ter­sebut yaitu “babaliak ka­sursau” dan mengintensifkan pembentukan karakter ini pada masa anak-anak dan remaja dimulai dari  ling­kungan-lingkungan ter­dekat. Pesan-pesan tersebut tentu bertujuan untuk mem­per­tahankan citra Sumatera Barata sebagai produsen tokoh-tokoh hebat seperti Moh. Hatta, M. Yamin, Natsir, Tan Malaka, dan banyak yang lainnya.

RONI AZMAL FAHDI
(Alumni Komisariat Ekonomi Unand)

0 komentar:

Posting Komentar