Sabtu, 03 Januari 2015

Reformasi dan Korupsi Kepala Daerah di Indonesia

Posted by Unknown on 05.15 in | 1 comment
           

          Sore, kamis 25 september 2014, masyarakat indonesia di kagetkan oleh berita operasi tangkap tangan yang di lakukan komisi pemberantasan korupsi (KPK) terhadap gubernur provinsi Riau,  Annas Maamun. Gubernur Riau ini di tetapkan sebagai tersangka penerima suap senilai Rp 2 miliar terkait dengan proses alih fungsi 140 hektare lahan kebun sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Ironisnya, kasus yang menimpa Annas Maamun ini terjadi pada saat Annas Maamun baru 7 bulan menempati jabatan gubernur riau yang lowong, karna sang gubernur sebelumnya Rusli Zainal juga di tetapkan tersangka oleh KPK terkait dengan kasus korupsi PON XVIII, suap anggota DPRD Riau, dan penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Kabupaten Pelalawan, Riau. Belum selesai di situ, mantan gubernur riau sebelum Rusli Zainal, Saleh Djasit yang menjabat pada periode 1998-2003 juga berurusan dengan KPK terkait dengan kasus korupsi mobil pemadam kebakaran.  Artinya dari periode 1998-2014, selama 16 tahun , Riau di pimpin oleh pemimpin korup.  Selama 16 tahun, orang-orang nomor satu di Riau berakhir menjadi pesakitan di KPK.  Mengutip judul pemberintaan pada sebuah media nasional  terkait kasus ini “KPK Hattrick Tangkap Gubernur Riau”. Prestasi untuk KPK, Tragis untuk masyarakat Riau.
            Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di indonesia memang sudah sangat mengkhawatirkan, mentri dalam negri Gamawan Fauzi, pada pernyataannya pada tanggal 23 Juli 2014, mengatakan sejak reformasi  ada 330 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, atau sekitar 86,22 persen, artinya dari total 100 persen kepala daerah, baik itu gubernur, bupati atau wali kota, hanya 13,78 persen saja yang tidak melakukan korupsi, atau dengan bahasa gamblangnya, mayoritas kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus korupsi.
            Tingginya tingkat korupsi dan prilaku korup kepala daerah ini tentu sangat mengganggu kinerja agenda pembangunan di daerah tersebut, mengurangi pendapatan sektor publik dan meningkatkan pendapatan belanja pemerintah dari sektor publik. Ujungnya adalah pembangunan daerah menjadi terhambat.
            Korupsi memang bukan hal baru bagi di indonesia, sejak orde baru negri ini sudah di pimpin oleh pemimpin yang korup, bedanya dengan sekarang adalah, jika pada orde baru korupsi mayoritas di lakukan pimpinan di pusat, pada era reformasi ini, korupsi menyebar ke hampir semua tingkatan pemerintahan dari pusat sampai tingkat kabupaten/kota atau bahakan lebih jauh ke bawah lagi, hampir semuanya tersangkut kasus korupsi.


            Pertanyaannya, kenapa sampai separah ini?
            Banyak pihak yang menyalahkan sistem demokrasi di indonesia yang mahal, akibatnya ketika si kandiddat menang, maka pada masa jabatannya, kepala daerah memanfaatkannya untuk mengembalikan modal yang telah di keluarkan ketika masa kampanye. Seorang calon bupati  bisa saja mengeluarkan dana Rp 5 miliar ketika masa kampanye, padahal ketika menjabat, pendapatan resmi mereka lebih kurangnya Rp 500 juta per tahun, jika di kalkulasikan selama sekali periode, atau  5 tahun, total pendapatan resmi bupati, kurang lebihnya Rp 2,5 miliar. Kalau sesuai dengan kondisi ini, maka si calon bupati sebenarnya masih mengalami minus Rp 2,5 miliar, walaupun dia sudah terpilih menjadi bupati, ini tentu dengan asumsi, jikalau si bupati hanya menerima pendapatan resminya saja
            Memang tidak semua calon kepala daerah mengeluarkan dana besar yang tidak wajar dalam setiap pemilukada, tapi yang jelas, dengan sistem demokrasi kita dewasa ini, tentu membutuhkan biaya besar untuk, menyentuh langsung masyarakat pada setiap lapisan.
            Hal ini membuat lumrah jika ada yang berhipotesa, kalau pada umumnya, para calon-calon pemimpin daerah akan mengeluarkan dana yang besar dalam pencalonannya, yang jika di bandingkan dengan pendapatan resmi mereka selama menjabat satu periode, tentu akan besar pasak dari pada tiang.
            Hal kedua yang oleh banyak pihak, di anggap sebagai penyebab tingginya angka koropsi yang di lakukaan oleh kepala daerah adalah otonomi daerah. Sejak reformasi, ketika indonesia merombak sistem tatanan hubungan struktural antara pemerintah pusat dengan daerah, dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana indonesia memberlakukan  UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (otda), lalu diganti dengan yang baru, yaitu UU No 32 Tahun 2004 diubah menjadi UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, kita memasuki era baru, yaitu otonomi daerah, di mana tujuannya yaitu  agar daerah mampu mandiri dalam perekonomiaannya dan mempercepat pembangunan di daerahnya.Tapi dewasa ini yang terjadi pada otonomi daerah di indonesia adalah, terciptanya “raja-raja kecil” di daerah. Otonomi daerah memberi keuntungan pada pihak-pihak yang dekat dengan pemimpin daerah, tidak heran, banyak di temukan isu para kepala daerah yang membangun “dinasti keluarga” pada pemerintahannya, seperti kasus ratu atut chosiyah di banten dan annas maamun di riau. Akibatnya korupsi yang di lakukan sulit terlacak, karena rapi, terstruktur dan melibatkan banyak pihak.
            Ketiga, pengawasan dan penindakan hukum yang masih lemah. Masih segar di ingatan masyarakat indonesia, ketika kasus  Akil Mochtar  terungkap, di mana sang ketua MK ini tersangkut tindak pidana suap terkait pengurusan sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) di MK. Kasus akil benar-benar menjatuhkan martabat peradilan mahkamah konstitusi. Itu baru di MK, sudah menjadi sebuah rahasia umum jika penegakan hukum di negara ini masih lemah dalam penegakannya, apalagi di tataran pengawasan, Profesor elfindri, guru besar ekonomi SDM univesrsitas andalas, dalam mata kuliah anti korupsi mengatakan “sulit mempercayai inspektorat-inspektorat yang ada di daerah, dalam menjalani fungsi pengawasannya”. Bisa di katakan pada kondisi sekarang ini, KPK adalah satu-satunya lembaga pengawasan yang masih di percayai sepenuhnya oleh masyarakat dan KPK ada di pusat, tentu sedikit banyaknya, memiliki keterbatasan akses langsung dengan daerah.
            Sementara DPRD yang juga punya peran dalam pengawasan, bisa di katakan sama mengkhawatirkannya, menurut wakil ketua komisi pemberantasan korupsi Bambang Widjojanto, hingga sekarang ini ada hampir 3000 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR maupun DPRD. Pertanyaannya adalah, bagaimana pihak yang di awasi itu akan hati-hati dalam melangkah, jika pihak yang mengawasi, juga melakukan korupsi?

            Ke tiga hal di atas jika di akumulasikan akan membentuk sebuah skenario, di mulai dari awal kampanye dengan modal besar, ketika terpilih, memulai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, karena akibat dari lemahnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum, di tambah lagi dengan DPRD yang juga tidak sama baik kinerjanya. sehingga menimbulkan persepsi, bahwa sangat “wajar” jika kepala daerah melakukan korupsi.

            Dengan kondisi di atas, tentu sudah sepatutnya, di lakukan perbaikan sistem demokrasi di indonesia.Pemerintah melalui KPU harus membuat regulasi yang baku dan tegas untuk memperbaiki kenyataan bahwa ongkos demokrasi kita yang mahal, momentum di tetapkan RUU pilkada terbaru yang menetapkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD bisa jadi merupakan langkah awal yang menarik untuk di lihat kedepannya, apa pengaruhnya terhadap tingkat korupsi kepala daerah, sama saja dengan kondisi sekarang, menurun, atau malah semakin naik. Menarik untuk di tunggu.

            Poin penting dari pemberantasan kasus korupsi kepala daerah tentu adalah perbaikan dan peningkatan kinerja para pengawas dan penegak hukum di indonesia, karena jika apa pun yang pemerintah lakukan terhadap sistem demokrasi di indonesia tetapi jika tidak di dukung oleh pengawasan dan penegakan hukum yang baik, tentu juga tidak berarti apa-apa bagi pemberantasan korupsi di indonesia. Di luar itu, tanggung jawab dalam pengawasan kinerja pemerintah, juga merupakan tanggung jawab dari masyarakat di daerah itu sendiri. Bentuk paling gampang dari masyarakat untuk mengawasi pemerintah daerahnya, bisa di mulai dengan cerdas dalam memilih baik itu memilih wakil rakyat mereka di DPRD, kenali dan pelajari siapa sosok calon pemimpin mereka, apa lagi jika ke depannya, pemilihan kepala daerah di tentukan oleh DPRD. Jika dari awal memilih DPRD saja masyarakat memilih wakil rakyat yang memainkan politik uang, tentu akan sangat rawan menghasilkan kepala daerah yang juga korup nantinya.

            Artinya, sudah jelas, pada sebuah sistem demokrasi, rakyat sebagai pemilih, berhak menentukan oleh siapa dia akan di pimpin, maka tentu harus di pergunakan sebaik-baiknya. Fenomena korupsi di indonesia memang sudah tidak bisa di tolerir lagi. Sebagai sebuah negara yang sedang gencar mengejar target pertumbuhan ekonomi, korupsi benar-benar menjadi musuh utama negara ini. Perbaikan sistem demokrasi dan perbaikan hukum sudah merupakan agenda wajib yang di lakukan pemerintahan selanjutnya.(Trendy M. Iqbal)



1 komentar:

  1. Menarik memang jika membahas masalah korupsi. Tentu pembahasannya akan meluber ke segala aspek. Sebagai PEMUDA penerus bangsa, BERANIKAH ANDA untuk tidak korupsi sekecil apapun dari hal terkecilpun? just to prove, YOU- YOUTH , COMMITMENT and CHALLENGE, BE BRAVE !

    BalasHapus