Posted by Unknown on 05.15 in Dari Komisariat | 1 comment
Sore, kamis 25 september 2014,
masyarakat indonesia di kagetkan oleh berita operasi tangkap tangan yang di
lakukan komisi pemberantasan korupsi (KPK) terhadap gubernur provinsi Riau, Annas Maamun.
Gubernur Riau ini di
tetapkan sebagai tersangka penerima suap senilai Rp
2 miliar terkait dengan proses alih fungsi 140 hektare lahan kebun sawit di
Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Ironisnya, kasus yang menimpa Annas Maamun
ini terjadi pada saat Annas Maamun baru 7 bulan menempati
jabatan gubernur riau yang lowong, karna sang gubernur sebelumnya Rusli Zainal juga di tetapkan tersangka oleh KPK terkait
dengan kasus korupsi PON XVIII, suap anggota DPRD Riau, dan penerbitan izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Kabupaten
Pelalawan, Riau. Belum selesai di situ, mantan
gubernur riau sebelum Rusli Zainal, Saleh Djasit yang menjabat pada periode
1998-2003 juga berurusan dengan KPK terkait dengan kasus korupsi mobil pemadam
kebakaran. Artinya dari periode
1998-2014, selama 16 tahun , Riau di pimpin oleh pemimpin korup. Selama 16 tahun, orang-orang nomor satu di Riau
berakhir menjadi pesakitan di KPK. Mengutip
judul pemberintaan pada sebuah media nasional terkait
kasus ini “KPK
Hattrick Tangkap Gubernur Riau”.
Prestasi untuk KPK, Tragis untuk masyarakat Riau.
Kasus korupsi yang melibatkan kepala
daerah di indonesia memang sudah sangat mengkhawatirkan, mentri dalam negri Gamawan
Fauzi, pada pernyataannya pada tanggal 23 Juli 2014, mengatakan sejak reformasi ada 330 kepala daerah yang tersangkut kasus
korupsi, atau sekitar 86,22 persen, artinya dari total 100 persen kepala
daerah, baik itu gubernur, bupati atau wali kota, hanya 13,78 persen saja yang
tidak melakukan korupsi, atau dengan bahasa gamblangnya, mayoritas kepala
daerah di Indonesia
tersangkut kasus korupsi.
Tingginya tingkat korupsi dan
prilaku korup kepala daerah ini tentu sangat mengganggu kinerja agenda
pembangunan di daerah tersebut, mengurangi pendapatan sektor publik dan
meningkatkan pendapatan belanja pemerintah dari sektor publik. Ujungnya adalah
pembangunan daerah menjadi terhambat.
Korupsi memang bukan hal baru bagi
di indonesia, sejak orde baru negri ini sudah di pimpin oleh pemimpin yang
korup, bedanya dengan sekarang adalah, jika pada orde baru korupsi mayoritas di
lakukan pimpinan di pusat, pada era reformasi ini, korupsi menyebar ke hampir
semua tingkatan pemerintahan dari pusat sampai tingkat kabupaten/kota atau
bahakan lebih jauh ke bawah lagi, hampir semuanya tersangkut kasus korupsi.
Pertanyaannya,
kenapa sampai separah ini?
Banyak pihak yang menyalahkan sistem
demokrasi di indonesia yang mahal, akibatnya ketika si kandiddat menang, maka
pada masa jabatannya, kepala daerah memanfaatkannya untuk mengembalikan modal
yang telah di keluarkan ketika masa kampanye. Seorang calon bupati bisa saja mengeluarkan dana Rp 5 miliar ketika
masa kampanye, padahal ketika menjabat, pendapatan resmi mereka lebih kurangnya
Rp 500 juta per tahun, jika di kalkulasikan selama sekali periode, atau 5 tahun, total pendapatan resmi bupati,
kurang lebihnya Rp 2,5 miliar. Kalau sesuai dengan kondisi ini, maka si calon
bupati sebenarnya masih mengalami minus Rp 2,5 miliar, walaupun dia sudah
terpilih menjadi bupati, ini tentu dengan asumsi, jikalau si bupati hanya
menerima pendapatan resminya saja
Memang tidak semua calon kepala
daerah mengeluarkan dana besar yang tidak wajar dalam setiap pemilukada, tapi
yang jelas, dengan sistem demokrasi kita dewasa ini, tentu membutuhkan biaya
besar untuk, menyentuh langsung masyarakat pada setiap lapisan.
Hal ini membuat lumrah jika ada yang
berhipotesa, kalau pada umumnya, para calon-calon pemimpin daerah akan
mengeluarkan dana yang besar dalam pencalonannya, yang jika di bandingkan
dengan pendapatan resmi mereka selama menjabat satu periode, tentu akan besar
pasak dari pada tiang.
Hal kedua yang oleh banyak pihak, di
anggap sebagai penyebab tingginya angka koropsi yang di lakukaan oleh kepala
daerah adalah otonomi daerah. Sejak reformasi, ketika indonesia merombak sistem
tatanan hubungan struktural antara pemerintah pusat dengan daerah, dari
sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana indonesia memberlakukan UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (otda), lalu diganti dengan
yang baru, yaitu UU No 32 Tahun 2004 diubah menjadi UU No 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah, kita memasuki era baru, yaitu otonomi daerah, di mana
tujuannya yaitu agar daerah mampu
mandiri dalam perekonomiaannya dan mempercepat pembangunan di daerahnya.Tapi
dewasa ini yang terjadi pada otonomi daerah di indonesia adalah, terciptanya “raja-raja
kecil” di daerah. Otonomi daerah memberi keuntungan pada pihak-pihak yang dekat
dengan pemimpin daerah, tidak heran, banyak di temukan isu para kepala daerah
yang membangun “dinasti keluarga” pada pemerintahannya, seperti kasus ratu atut
chosiyah di banten dan annas maamun di riau. Akibatnya korupsi yang di lakukan
sulit terlacak, karena rapi, terstruktur dan melibatkan banyak pihak.
Ketiga, pengawasan dan penindakan
hukum yang masih lemah. Masih segar di ingatan masyarakat indonesia, ketika
kasus Akil Mochtar
terungkap, di mana sang ketua MK ini tersangkut tindak pidana suap
terkait pengurusan sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) di MK. Kasus akil
benar-benar menjatuhkan martabat peradilan mahkamah konstitusi. Itu baru di MK,
sudah menjadi sebuah rahasia umum jika penegakan hukum di negara ini masih
lemah dalam penegakannya, apalagi di tataran pengawasan, Profesor elfindri,
guru besar ekonomi SDM univesrsitas andalas, dalam mata kuliah anti korupsi mengatakan
“sulit mempercayai inspektorat-inspektorat yang ada di daerah, dalam menjalani
fungsi pengawasannya”. Bisa di katakan pada kondisi sekarang ini, KPK adalah
satu-satunya lembaga pengawasan yang masih di percayai sepenuhnya oleh
masyarakat dan KPK ada di pusat, tentu sedikit banyaknya, memiliki keterbatasan
akses langsung dengan daerah.
Sementara DPRD yang juga punya peran
dalam pengawasan, bisa di katakan sama mengkhawatirkannya, menurut wakil ketua
komisi pemberantasan korupsi Bambang Widjojanto,
hingga sekarang ini ada hampir 3000 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR
maupun DPRD. Pertanyaannya adalah, bagaimana pihak yang di awasi itu akan
hati-hati dalam melangkah, jika pihak yang mengawasi, juga melakukan korupsi?
Menarik memang jika membahas masalah korupsi. Tentu pembahasannya akan meluber ke segala aspek. Sebagai PEMUDA penerus bangsa, BERANIKAH ANDA untuk tidak korupsi sekecil apapun dari hal terkecilpun? just to prove, YOU- YOUTH , COMMITMENT and CHALLENGE, BE BRAVE !
BalasHapus