Minggu, 05 Januari 2014

Opini Pengangguran dan Pelanggaran HAM

Kasus pelanggaran hak azasi manusia (HAM) di Indonesia, masih banyak yang belum terselesaikan. Tak jarang setiap harinya bertambah dengan kasus-kasus baru yang lebih parah. Kehadiran lembaga-lembaga serta aliansi-aliansi penegakkan HAM seharusnya menjadi sebuah harapan penegakkan HAM di Indonesia agar lebih baik.
Tapi tak jarang pula, para pejuang penegakan HAM menjadi korban pelanggaran HAM. Sebut saja Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia dan menjadi efek pelanggaran HAM terhadap penegakkan HAM.
Dengan banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi, lembaga-lembaga dan aliansi-aliansi penegakan HAM cenderung mengalami kendala dalam memberikan fokus terhadap kasus-kasus yang terjadi. Mereka cenderung terpaku pada permasalahan permasalahan terkait dengan pelanggaran-pelanggaran HAM personal ataupun legal equality seperti tindak kekerasan, pengambilan lahan dan sumber daya alam, serta kasus tindakan kriminalitas lainnya.
Memang ini senada dengan apa yang yang dibahasakan kepada salah satu koran nasional pada tanggal 07 Desember 2012 oleh Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah menjelang Sidang HAM ke-II tiga lembaga HAM nasional, yaitu Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dia menegaskan yang akan menjadi fokus dalam Sidang HAM ke-II ini seputar isu pelanggaran HAM dalam pengelolaan konflik SDA dan agraria, intoleransi, pelanggaran HAM masa lalu, dan kekerasan terhadap anak di sekolah.
Akan tetapi yang perlu kita ingat dan kaji kembali, masalah penegakkan HAM tidak hanya menyangkut hak asasi pribadi (personal right), hak asasi politik (political right), hak azasi hukum (legal equality right), hak asasi peradilan (procedural right), dan hak asasi sosial budaya (social culture right). Tapi juga menyangkut hak azasi ekonomi (property right), yang fokusnya adalah tingkat pengangguran yang terjadi di tengah masyarakat.
Sebagaian besar kasus pengangguran disebabkan oleh tidak tersedianya lahan pekerjaan yang cukup. Keterbatasan lahan pekerjaan tersebut menyebabkan kompetisi dalam memperoleh pekerjaan menjadi sangat tinggi.
Terkadang kompetisi tersebut berjalan secara sehat, tapi tidak jarang pula kompetisi tersebut terjadi secara tidak sehat. Dengan terjadinya kompetisi dalam mendapatkan pekerjaan tersebut, ternyata menjadi penyebab terjadinya pembatasan hak asasi ekonomi seseorang terhadap suatu pekerjaan oleh hak asasi ekonomi orang lain yang telah mendapatkan pekerjaan tersebut terlebih dahulu. Jika ia masuk ke lapangan pekerjaan lain, tentu akan tetap menghadapi kompetisi yang sudah terisi dengan kompetitor lain, sementara tuntutan ekonomi harus tetap dipenuhi.
Dengan tingginya tuntutan ekonomi, tentu desakan untuk memperoleh pendapatan juga semakin tinggi. Selain dengan cara meningkatkan daya saing sebagai kompetitor dalam memperoleh pekerjaan, tidak jarang cara yang digunakan adalah cara-cara yang tidak sehat dan melanggar hak asasi ekonomi orang lain, seperti tindakan eksploitasi, nepotisme ataupun suap.
Jika ditarik ke akarnya lagi, salah satu penyebab terjadinya pengangguran dan lemahnya tingkat kompetisi di kalangan penduduk usia kerja adalah faktor pendidikan.
Secara lazim tentu akan terjadi differensiasi pekerjaan antara penduduk usia kerja yang memiliki tingkat pendidikan rendah dengan tingkat pendidikan tinggi. Tentu, ini akan menyebabkan tingkat persaingan akan melampaui persinggungan-persinggungan hak asasi ekonomi.
Pada beberapa literatur, kita bisa menemukan bahwa pelanggaran hak asasi ekonomi bisa menjadi penyebab dan akar permasalah dari munculnya kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Sebagai contoh, dengan informasi yang masing-masing kita miliki, kita bisa mengambil kesimpulan dari penyebab terjadinya kasus pelanggaran HAM berat di daerah Dharmasraya dengan aksi sweeping yang dilakukan para aparat polisi setempat pada tanggal 25-27 November 2012 lalu adalah efek dari tidak terpenuhinya hak asasi ekonomi masyarakat.
Asumsi yang bisa kita munculkan adalah, masyarakat dari golongan penambang emas merupakan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah sehingga hak asasi ekonomi mereka terbatasi oleh status pendidikan untuk memperoleh pekerjaan. Berdasarkan pada data BPS Dharmasraya, memang menunjukan bahwa angka pendapatan perkapita penduduk di Dharmasraya merupakan salah satu yang cukup tinggi untuk daerah Sumatra Barat yaitu Rp12,591,541.90 pertahunnya dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa. Namun seperti yang kita ketahui bersama, jurang yang terjadi dalam pendapatan perkapita masyarakat di Indonesia sangatlah jauh antara masyarakat miskin dengan masyarakat kaya, sehingga kita tidak bisa secara mutlak berpatokan pada pendapatan perkapita masyarakat dalam menganalisa pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Jadi, kalau kita mencoba melakukan sebuah pemetaan terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Dharmasraya, kita akan menemukan akar dari kasus penangkapan inkonstitusional yang tidak sesuai dengan KUHAP tentang Penangkapan pasal 18 ayat 1 yang dilakukan oleh jajaran aparat polisi setempat adalah kebutuhan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan tidak memiliki perkerjaan tetap terhadap peluang akan lahan pekerjaan yang produktif, yang bisa meningkatkan pendapatan demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun apakah terjadi perebutan lahan antara masyarakat yang tiba-tiba menceburkan diri menjadi penambang dengan aparat polisi yang juga berfikir sama dengan penambang, bahwa lahan tambang sangat menjanjikan untuk memberikan pendapatan lebih? Tentu ini adalah question ending, yang tidak perlu berujung dengan sebuah statement.
Roni Azmal Fahdi
(Alumni komisariat Ekonomi Unand)

PENDIDIKAN KARAKTER BUKAN HAL BARU DI SUMBAR

Menarik mengikuti perdebatan mengenai pendidikan karakter oleh beberapa tokoh, budayawan, dan pakar pendidikan.
Perdebatan dimulai dari artikel Darman Moenir yang dimuat di Haluan Senin 26 Desember 2011. Berbagai wacana pro dan kontra menge­nai pendidikan semakin gen­car bermunculan, banyak per­spektif yang digunakan dalam memandang penting atau tidaknya pendidikan karakter diterapkan untuk mengubah kecacatan moral yang terjadi di negeri ini. Penulis ber­pendapat ada beberapa hal yang perlu kita cermati dalam pendidikan karakter.
Penulis adalah orang yang sepakat dengan pepatah Mi­nang “Kaciak taraja-raja, gadang tabao-tabao, gaek tarubah tidak”. Sangat fi­losofis dan bermakna luas jika kalimat yang memperlihatkan bagaimana sebuah proses pembentukan karakter yang terjadi di Minangkabau kita pahami lebih dalam.
Pembentukan karakter seseorang melewati beberapa proses dan tahapan. Tahapan pertama, adalah penanaman sistem nilai yang memberikan acuan dalam melakukan pe­nilaian pembandingkan ter­hadap sesuatu. Kedua, pem­bentukan sikap, dimana pro­ses penilaian dan pembandingan yang telah dilakukan oleh seseorang akan membentuk sebuah respon berupa sikap terhadap stimulus yang be­rasal dari lingkungan. Ketiga, adalah proses pembentukan perilaku, dimana hasil dari respon sikap terhadap sti­mulus menciptakan sebuah perilaku seseorang. Keempat, tahapan pembentukan karak­ter, sebagai sebuah hasil paripurna dari tahapan-ta­hapan pembentukan karakter yang berasal dari perilaku yang dilakukan secara be­rulang-ulang dan terus me­nerus yang biasa kita sebut dengan kebiasaan. Faktor internal berupa sistem nilai dan faktor eksternal berupa lingkungan memberikan penga­ruh yang significant terhadap kebiasaan seseorang yang akan membentuk karakternya.
Tanpa mengurangi esensi ilmu dari mahzab-mahzab ilmu pendidikan yang sedang berkembang didunia hari ini, penulis berpendapat bahwa metode pembentukan karakter yang paling baik dan relevan dipakai didaerah Sumatera Barat adalah mengacu pada pepatah kaciak taraja-raja, gadang tabao-tabao, gaek tarubah tidak”
Kaciak taraja-raja (kecil terajari), bisa dipahami se­bagai sebuah proses dok­trinisasi terhadap seorang anak, dimana ia diberikan setumpuk nilai-nilai ke­bena­ran. Sehingga ia memiliki suatu acuan dan sudut pan­dang dalam membandingkan dan menilai sesuatu sebagai suatu yang benar atau salah, baik atau buruk, dan indah atau tidak indah. Dalam istilah filsafat, idientik kita mengenal kata-kata tersebut dengan istilah penilaian etika, logika, dan estetika. Pe­na­na­man sistem nilai tersebutlah yang menjadi bagian ter­penting dan pondasi awal (faktor internal) bagi se­se­orang manusia dalam pem­bentukan karakternya.
Tahapan ini tentu dimulai dari lingkungan terdekat dari anak tersebut, mulai dari keluarga, lingkungan masya­rakat (sosial), dan lingkungan pendidikan. Adalah ke­nis­cayaan untuk orang tua dalam mengajarkan yang benar bagi anak-anaknya, akan tetapi proses interaksi anak tersebut dengan lingkungan sosial dan pendidikan juga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam penanaman nilai-nilai tersebut. Satu hal yang men­jadi tuntutan bagi orang tua adalah bagaimana caranya orang tua dari anak tersebut melakukan proteksi terhadap sistem nilai yang salah agar tidak menjadi suatu acuan yang dianggap benar oleh si anak. Ada beberapa sistem nilai yang dapat diberikan kepada si anak sebagai pem­banding sistem nilai yang benar dan sistem nilai salah. Diantaranya adalah sistem nilai yang berasal dari nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya dan tentu saja nilai-nilai hukum yang berlaku. Karena itulah sistem “babaliak ka­surau” juga menjadi sangat relevant dalam menunjang pembentukan karakter. Ka­rena sistem pendidikan di­sekolah hari ini, terutama yang tidak berbasis agama, menurut penulis belum mem­berikan komposisi yang cukup dalam memberikan pe­na­naman nilai-nilai agama terhadap anak-anak.
Gadang tabao-bao (remaja ikut-ikutan), sebagai proses lanjutan dari pembentukan karakter, proses ini mem­berikan representasi bahwa pada tahap menuju remaja, diasumsikan seseorang sudah memiliki sebuah sistem nilai dalam dirinya. Sehingga da­lam proses interaksi social yang lebih dalam, ia sudah bisa menyusun sebuah ide dan gagasan dalam melakukan penilaian dan perbandingan berupa respon terhadap sti­mulus-stimulus dari ling­kungan. Dalam proses ini, si anak yang telah beranjak remaja akan melakukan proses penilaian ulang terhadap sistem nilai dalam dirinya (faktor internal) dengan rea­lita yang ada (faktor eks­ternal). Faktor eksternal ini, bisa berasal dari pengalaman pribadi atau orang lain dan ilmu pengetahuan yang ia peroleh dari bangku pen­didikan ataupun bacaan-bacaan yang beredar bebas dan luas saat ini. Pada proses ini orang tua, dituntut untuk memberikan control terhadap sistem nilai yang telah di­tanamkan.
Gaek raubah tidak (de­wasa tidak terubah), ta­hapan ini merupakan proses pari­purna dari pembentukan karakter seseorang. Dimana sistem nilai yang tertanam dan telah melewati proses perbandingan dan penilaian dengan realita, dimana proses perbandingan dan penilaian tersebut akan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor keingingan dan ke­butuhan. Jika kebutuhan dan keinginan lebih kuat di­ban­ding­kan dengan sistem nilai yang ada dalam diri se­se­orang, akan membuat sistem nilai tersebut hancur, sehingga secara sikap, perilaku, dan karakterpun akan berubah.
Jika karakter yang di­bangun seseorang tidak me­miliki sebuah konsis­tensi dan berubah-ubah, serta cenderung menye­suaikan dengan ke­ingi­nan dan kebutuhan maka penulis lebih sepakat menye­but seseorang ter­sebut tidak berkarakter. Dan wajar, jika istilah-istilah seperti “pe­mimpin tidak berkarakter”,  yang menimbulkan analogi “bangsa yang tidak ber­karakter” bermunculan dan disebut dimana-mana saat ini.
Jadi penulis ber­ke­sim­pulan bahwa sistem pen­didikan karakter, sebenarnya ditelah di­terapkan di Minang­kabau dari dahulu. Hanya saja kita sering terlupa untuk memahami pesan-pesan yang disampaikan oleh orang orang tua melalui pepatah-pepatah seperti “ka­ciak taraja-raja, gadang tabao-bao, gaek ta­rubah tidak”, dan bahkan sudah ada solusi terhadap permasalahan ter­sebut yaitu “babaliak ka­sursau” dan mengintensifkan pembentukan karakter ini pada masa anak-anak dan remaja dimulai dari  ling­kungan-lingkungan ter­dekat. Pesan-pesan tersebut tentu bertujuan untuk mem­per­tahankan citra Sumatera Barata sebagai produsen tokoh-tokoh hebat seperti Moh. Hatta, M. Yamin, Natsir, Tan Malaka, dan banyak yang lainnya.

RONI AZMAL FAHDI
(Alumni Komisariat Ekonomi Unand)

Kamis, 02 Januari 2014

Harapan Indonesia

Sejarah telah mengajarkan kepada kita betapa Republik ini dibangun dengan tumpuan optimisme yang menggelora.
Kita bisa mengingat, di tengah karut-marut negeri kita di awal kemerdekaan, para pemimpin tetap mampu memberi optimisme kepada rakyat.
Padahal jika kita melihat kondisi hari itu, semua hal serba tertinggal. Hanya lima persen penduduk Indonesia yang melek huruf. Hanya ada 92 sekolah menengah atas (SMA) dan lima universitas.

Gejolak sosial dan kekacauan berdarah terjadi di mana-mana. Bayangkan bila Anda berjalan malam hari dari Jakarta ke Bandung pada masa itu. Pasti Anda akan dirampok saudara sebangsa. Apa yang bisa dibanggakan dari kondisi seperti itu?

Tapi lihatlah Soekarno, Muhammad Hatta, dan para pendiri Republik yang lain. Mereka tetap menggelorakan optimisme kepada rakyat. Mereka memberi semangat tentang Indonesia yang kaya raya, karena saat itu sumber daya manusia sama sekali belum bisa dibanggakan.
Para pendiri Republik mampu menggandakan pesan optimisme dan semangat kepada rakyat. Mengapa? Karena para pendiri Republik menyampaikan semua pesan dengan otentik, tidak dibuat-buat, apa adanya.
Maka sangatlah aneh bila hari ini, di tengah kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa ini, seringkali pesan-pesan positif tidak berhasil digandakan. Gagalnya penyampaian pesan-pesan kepada rakyat hari ini disebabkan sebagian besar pesan itu tertutup dengan pencitraan dan kurang otentik. Nyaris tak ada lagi pesan-pesan yang otentik, karena para pemimpin cenderung menghindari kontroversi.
Kita butuh pemimpin otentik. Pemimpin yang tidak takut dengan kontroversi. Pemimpin yang tak hanya peduli dengan kata wartawan, karena tindakan hari ini akan dinilai oleh sejarawan.
Pemimpin harusnya takut pada sejarawan, bukan pada wartawan.
Dalam konteks ini kita perlu memberi apresiasi kepada Mahfud MD, ketua Mahkamah Konstitusi. Beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi selama ini telah memicu kontroversi. Tapi Mahfud MD dan Mahkamah Konstitusi terus jalan. Begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin. Pemimpin itu harus memberi contoh. Pemimpin harus memberi harapan, bukan ratapan.

Harapan juga dibutuhkan dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, penyakit yang kian menggerogoti negeri ini. Ini bukan penyakit baru. Korupsi sudah ada sejak zaman kolonial. Ketika Herman Willem Deandels datang di Indonesia 1 Januari 1808, di sini sudah ada korupsi.

Di zaman awal kemerdekaan juga sudah ada korupsi. Tapi para politisi masih memiliki kepedulian yang kuat untuk memikirkan nasib rakyat. Walau mereka bertarung secara ideologi, tapi secara personal dan tingkah laku, banyak yang bisa dicontoh. Bagi mereka, kepentingan Republik adalah di atas segalanya.

Maka sudah sepantasnya nasib rakyat kembali dijadikan orientasi. Hari ini paradigma baru yang harus dibangun adalah sumber daya manusia sebagai aset kekayaan Republik.
Jangan terpaku lagi pada kekayaan alam sebagai orientasi. Jika hari ini kita masih lebih hafal jumlah barel produksi minyak daripada jumlah guru, maka itu sama saja dengan pola pikir kolonial.
Kolonial hanya berpikir kekayaan alam dan bagaimana mengisap kakayaan alam negeri ini untuk kepentingan bangsa mereka.
Pola pikir seperti itu hanya mengutamakan tujuan untuk keuntungan sepihak dalam segala hal, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. Contoh, rel kereta api zaman dulu dibangun hanya untuk menghubungkan perkebunan, bukan menghubungkan daerah padat penduduk. Karena kolonial berpikir untuk mengisap kekayaan alam bangsa Indonesia sebesar-besarnya.

Hari ini kita telah menikmati berbagai hasil dari proses transformasi demokrasi. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi memang patut berbangga. Pemilihan umum sebagai salah satu bentuk demokrasi bahkan telah diselenggarakan dengan baik. Tapi sebenarnya pemilu itu ditentukan bukan oleh pemenang, tapi oleh pihak yang kalah. Jika pihak yang kalah memboikot hasil pemilu, maka tak akan ada legitimasi terhadap pemenang pemilu.

Oleh karenanya menjadi aneh, kalau hari ini kita serasa sulit menemukan negarawan. Mengapa? Karena visi bangsa kita tertutup dengan banyak contoh buruk. Benarkah sudah tak ada lagi negarawan di negeri ini? Tentu tidak! Masih banyak orang-orang baik dengan kontribusi positif. Masih banyak anak-anak muda yang terpanggil membangun negara. Banyak contoh orang-orang baik yang sifatnya seperti negarawan, tapi jarang diekspos.

Jadi apa yang bisa dilakukan? Tawarkan skema dalam bentuk pengabdian dan kehormatan, bukan punishment. Seringkali pengabdian ditawarkan dengan mekanisme punishment dan uang. Padahal jika pengabdian ditawarkan dalam skema kehormatan, masih banyak anak-anak muda yang tertarik.
oleh : Anies Baswedan